Perkumpulan BIMA dibentuk pada tahun 2005 oleh beberapa aktifis yang terlibat dalam membantu korban konflik dan tsunami di Bireuen. Dinamika penanganan korban yang membutuhkan perhatian intensif dirasakan oleh komunitas, khususnya korban konflik yang kurang tersentuh oleh perhatian maupun bantuan, akhirnya bersepakat untuk membentuk wadah kelembagaan sehingga dapat membantu para korban secara lebih inten.
Pada awalnya, peran dan kerja-kerja yang dilakukan oleh BIMA lebih banyak dilakukan dalam bentuk solidaritas dan bersifat responsif. Artinya, secara kelembagaan, BIMA melakukan serangkaian kegiatan sosial berdasarkan tindakan-tindakan darurat, seperti pendampingan pengungsi, menyalurkan bantuan sembako, membantu akses bantuan kepada korban, melakukan mediasi antara korban dengan pemerintah, etc. Pada tahun 2006, komunitas BIMA akhirnya bersepakat untuk membentuk lembaga secara formal dalam bentuk yayasan. Kesepakatan ini dilakukan setelah melihat persoalan yang dialami oleh korban konflik dan tsunami tidak tertangani secara baik di tahapan emergency. Persoalan penanganan dimasa transisi sebelum mereka benar-benar mandiri adalah permasalahan yang selanjutnya harus ditangani secara serius11 sebelum menimbulkan dampak negatif bagi mereka sendiri dan lingkungannya.
Fokus yang menjadi pondasi gerakan BIMA diletakkan pada tiga sektor, yaitu pendidikan, penguatan ekonomi dan kemandirian gampong serta penguatan perdamaian. Intervensi sektor pendidikan dilakukan pada upaya membangun kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil serta menjembatani akses dan kebutuhan pendidikan antara masyarakat dan pemerintah, khususnya terhadap daerah-daerah yang terisolasi dan minim fasilitas. Dalam mendorong penguatan akses pendidikan bagi daerah-daerah yang terisolasi selama ini, BIMA melakukan serangkaian strategi guna mendorong orang tua dan masyarakat setempat untuk memperluas pemahaman mereka tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah. Pemahaman tentang hak-hak anak ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk merubah paradigma distortif masyarakat yang melihat posisi anak hanya sebagai bagian dari aset kapital keluarga.
Sedangkan di sektor ekonomi adalah membentuk dan mendorong kemajuan ekonomi pada daerah-daerah yang tertinggal secara partisipatif. BIMA menyadari bahwa daerah-daerah yang terisolasi oleh berbagai kebijakan pemerintah selama ini merupakan daerah-daerah titik hot-spot konflik. Untuk itu, BIMA merasa penting memperluas akses dan perhatian semua pihak pada daerah-daerah tersebut agar potensi konflik dapat diminimalisir lebih dini melalui aktivitas yang dapat memperluas kesejahteraan mereka.
Menyangkut sektor penguatan kemandirian gampong, BIMA melakukan ragam kegiatan yang bertumpu pada visi pembangunan desa menuju kemandirian. Artinya, desa dapat menanggulangi kebutuhannya tanpa tergantung secara penuh pada pemerintah. Konsepsi ini digulirkan melalui penguatan organisasi dan pemahaman kepemimpinan para geushiek tentang pemerintahan gampong. Penguatan organisasi dilakukan dengan membantu pembentukan Asosiasi Geushiek Kabupaten Bireuen (AGKB). Pembentukan ini dilakukan sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat interaksi, komunikasi dan media advokasi antar geushiek di Bireuen. Jalinan Interaksi, komunikasi dan advokasi yang dilakukan oleh para geushiek merupakan modal utama bagi mereka untuk menstimulasi lahirnya kesadaran, gagasan dan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan desa.
Setelah penguatan organisasi dapat dioptimalkan fungsinya, BIMA mencoba menguatkan visi pemerintahan desa melalui serangkaian strategi yang dapat mendukung eksistensi AGKB sebagai mitra pemerintah daerah. Hal ini dilakukan melalui pengalian dan pengembangan formula kebijakan anggaran yang menempatkan desa sebagai pintu masuk pembangunan di Bireuen. Misalnya melalui program Alokasi Dana Gampong (ADG), pemerintah daerah dapat mendorong pengentasan kemiskinan, pengurangan tingkat kematian ibu dan anak, gizi buruk serta mengoptimalkan peran desa dan orang tua dalam mendorong program wajib belajar bagi anak-anak usia sekolah. Formula ini sangat relevan karena hanya aparatur desa yang memahami lebih dekat masalah-masalah yang dialami oleh desanya, sehingga masalah-masalah sosial dan kemiskinan dapat langsung diintervensi oleh pemerintah desa. Desa, dengan sendirinya dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi melalui metode dan mekanisme yang dikembangkan secara mandiri. Melalui intervensi ini, BIMA merasa akan terjadi perubahan yang signifikan di Kabupaten Bireuen. Perubahan yang akan berdampak secara jangka panjang bagi kesejahteraan, demokrasi, perdamaian dan masa depan masyarakat Bireuen.
Citra Satelit Sekretariat Perkumpulan BIMA
Leave a comment